Kerangka utuh seorang bocah ditemukan saat sedang dilakukan penggalian parit untuk mengisolasi air di situs percandian Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat.
Staf pemugaran Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang menemukan tiga kerangka manusia di Situs Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat, Jumat (27/9/2013). Menurut Komara Lana, salah seorang staf tekno arkeologi, penemuan tiga kerangka ini tak disengaja.
"Untuk mengisolasi candi dari air, kami akan membuat saluran. Pada saat melakukan penggalian tentunya didahului dengan ekskavasi. Dari ekskavasi inilah ditemukan tiga kerangka," urai Komara mengenai proses penemuannya.
Posisi mereka sejajar, hanya berbeda lapisan penggalian. Kerangka itu tidak berada dalam struktur bangunan candi. Dilihat dari ukuran tulang belulangnya tiga kerangka itu diperkirakan dari usia yang berbeda, yaitu dewasa, remaja, dan bocah.
Semua kerangka telah diambil dari tanah kecuali kerangka bocah yang diangkat secara utuh dengan tanahnya yang masih solid. Proses pengangkatan dari lokasi sudah berjalan sejak empat hari yang lalu. Sekarang kerangka telah berhasil diangkat lengkap dengan tanahnya.
"Umur candi ini diperkirakan dari abad ke-2 Masehi. Tentunya kerangka ini sudah 18 abad usianya," Komara melanjutkan.
Selain tiga kerangka, ditemukan juga gerabah di dekat mayat. Gerabah ini biasanya disebut sebagai tradisi bekal kubur yang biasa dilakukan oleh masyarakat prasejarah. Sayangnya, gerabahnya sudah hancur dan belum bisa diidentifikasi.
"Isinya tidak ada, bahkan gerabahnya sudah hancur, sudah terurai. Bagaimana pun secermat mungkin kita harus merekam data," lanjut Komara lagi.
Prof Dr Hasan Djafar, arkeolog senior yang berada di Situs Batu Jaya, menjelaskan, "Ini salah satu kerangka masyakarat Batu Jaya Kuno. Kemungkinan besar berasal dari zaman prasejarah. Untuk tepatnya harus di-carbon dating."
Arkeolog yang sejak awal meneliti Situs Batu Jaya ini memiliki pengalaman panjang berkaitan penemuan artefak di situs tersebut. "Sudah belasan kerangka utuh ditemukan di sini. Terakhir 2011. Melalui carbon dating diketahui temuan gerabah dan kerangka berasal dari abad ke-2 sampai ke-4.
Kerangka bocah itu masih lengkap dengan tulang dan giginya. "Kalau anak-anak ini dengan gigi geliginya yang belum sempurna secara anatomis, usianya bisa ditentukan," ungkapnya. Jenis kelaminnya pun belum diketahui dengan pasti. Masih perlu diteliti lebih lanjut.
Situs Batu Jaya mulai dilirik para arkeolog pada 1952, saat penemuan sisa-sisa candi di Cibuaya yang terletak tak jauh dari situs tersebut. Pemerintah kolonial Belanda tak pernah memetakan keberadaan situs percandian Batu Jaya karena dianggap tak ada. Pada 1952, barulah para petani melaporkan ada penemuan benda bersejarah di Cibuaya.
Barulah pada 1984, melalui peninjauan lapangan, Prof Dr Ayatrohaedi menemukan Situs Batu Jaya. Setahun kemudian, oleh Prof Dr Mundardjito, situs Batu Jaya dijadikan lahan kuliah kerja lapangan bagi para mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia. Dua profesor itu bersama Hasan Djafar mulai melakukan penelitian intensif di kawasan Batu Jaya. "Padat temuan!" begitu komentar Hasan Djafar tentang Situs Batu Jaya.
Di situs itu terdapat lebih dari 20 reruntuhan bangunan bata yang tersebar di kawasan seluas 5 kilometer persegi. Uniknya, candi yang terbuat dari bata hampir tidak pernah ditemukan di tempat lain di Jawa Barat, kecuali di Batu Jaya.
Ini juga mematahkan anggapan bahwa candi yang terbuat dari bata umumnya berasal dari masa relatif muda dibandingkan candi yang terbuat dari batu seperti Borobudur. Diduga, situs Batu Jaya berkaitan dengan masa prasejarah abad ke-2 dan terus berlanjut sampai masa Kerajaan Taruma Nagara, abad ke-5 sampai ke-7.
Situs agama Buddha ini terletak dekat muara Sungai Citarum. Dahulu, ditengarai terdapat kota pelabuhan besar yang menjadi pusat perdagangan internasional. Sebuah berita dari abad ke-3, yaitu kitab Nan Chao I Wu Chih, menunjukkan sebuah toponimi Ko-ying yang merupakan pusat perdagangan internasional. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa. Kata Ko-ying ini yang diyakini oleh OW Wolters, peneliti Sriwijaya, adalah Kaiwang (Kawang) atau Karawang kini.
Feri Latief - National Geographic Indonesia
Senin, 30 September 2013 | 11:55 WIB
Sumber: Sains.kompas.com
Staf pemugaran Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang menemukan tiga kerangka manusia di Situs Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat, Jumat (27/9/2013). Menurut Komara Lana, salah seorang staf tekno arkeologi, penemuan tiga kerangka ini tak disengaja.
"Untuk mengisolasi candi dari air, kami akan membuat saluran. Pada saat melakukan penggalian tentunya didahului dengan ekskavasi. Dari ekskavasi inilah ditemukan tiga kerangka," urai Komara mengenai proses penemuannya.
Posisi mereka sejajar, hanya berbeda lapisan penggalian. Kerangka itu tidak berada dalam struktur bangunan candi. Dilihat dari ukuran tulang belulangnya tiga kerangka itu diperkirakan dari usia yang berbeda, yaitu dewasa, remaja, dan bocah.
Semua kerangka telah diambil dari tanah kecuali kerangka bocah yang diangkat secara utuh dengan tanahnya yang masih solid. Proses pengangkatan dari lokasi sudah berjalan sejak empat hari yang lalu. Sekarang kerangka telah berhasil diangkat lengkap dengan tanahnya.
"Umur candi ini diperkirakan dari abad ke-2 Masehi. Tentunya kerangka ini sudah 18 abad usianya," Komara melanjutkan.
Selain tiga kerangka, ditemukan juga gerabah di dekat mayat. Gerabah ini biasanya disebut sebagai tradisi bekal kubur yang biasa dilakukan oleh masyarakat prasejarah. Sayangnya, gerabahnya sudah hancur dan belum bisa diidentifikasi.
"Isinya tidak ada, bahkan gerabahnya sudah hancur, sudah terurai. Bagaimana pun secermat mungkin kita harus merekam data," lanjut Komara lagi.
Prof Dr Hasan Djafar, arkeolog senior yang berada di Situs Batu Jaya, menjelaskan, "Ini salah satu kerangka masyakarat Batu Jaya Kuno. Kemungkinan besar berasal dari zaman prasejarah. Untuk tepatnya harus di-carbon dating."
Arkeolog yang sejak awal meneliti Situs Batu Jaya ini memiliki pengalaman panjang berkaitan penemuan artefak di situs tersebut. "Sudah belasan kerangka utuh ditemukan di sini. Terakhir 2011. Melalui carbon dating diketahui temuan gerabah dan kerangka berasal dari abad ke-2 sampai ke-4.
Kerangka bocah itu masih lengkap dengan tulang dan giginya. "Kalau anak-anak ini dengan gigi geliginya yang belum sempurna secara anatomis, usianya bisa ditentukan," ungkapnya. Jenis kelaminnya pun belum diketahui dengan pasti. Masih perlu diteliti lebih lanjut.
Situs Batu Jaya mulai dilirik para arkeolog pada 1952, saat penemuan sisa-sisa candi di Cibuaya yang terletak tak jauh dari situs tersebut. Pemerintah kolonial Belanda tak pernah memetakan keberadaan situs percandian Batu Jaya karena dianggap tak ada. Pada 1952, barulah para petani melaporkan ada penemuan benda bersejarah di Cibuaya.
Barulah pada 1984, melalui peninjauan lapangan, Prof Dr Ayatrohaedi menemukan Situs Batu Jaya. Setahun kemudian, oleh Prof Dr Mundardjito, situs Batu Jaya dijadikan lahan kuliah kerja lapangan bagi para mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia. Dua profesor itu bersama Hasan Djafar mulai melakukan penelitian intensif di kawasan Batu Jaya. "Padat temuan!" begitu komentar Hasan Djafar tentang Situs Batu Jaya.
Di situs itu terdapat lebih dari 20 reruntuhan bangunan bata yang tersebar di kawasan seluas 5 kilometer persegi. Uniknya, candi yang terbuat dari bata hampir tidak pernah ditemukan di tempat lain di Jawa Barat, kecuali di Batu Jaya.
Ini juga mematahkan anggapan bahwa candi yang terbuat dari bata umumnya berasal dari masa relatif muda dibandingkan candi yang terbuat dari batu seperti Borobudur. Diduga, situs Batu Jaya berkaitan dengan masa prasejarah abad ke-2 dan terus berlanjut sampai masa Kerajaan Taruma Nagara, abad ke-5 sampai ke-7.
Situs agama Buddha ini terletak dekat muara Sungai Citarum. Dahulu, ditengarai terdapat kota pelabuhan besar yang menjadi pusat perdagangan internasional. Sebuah berita dari abad ke-3, yaitu kitab Nan Chao I Wu Chih, menunjukkan sebuah toponimi Ko-ying yang merupakan pusat perdagangan internasional. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa. Kata Ko-ying ini yang diyakini oleh OW Wolters, peneliti Sriwijaya, adalah Kaiwang (Kawang) atau Karawang kini.
Feri Latief - National Geographic Indonesia
Senin, 30 September 2013 | 11:55 WIB
Sumber: Sains.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar