Sejumlah mahasiswa melakukan aksi demo menolak RUU organisasi masyarakat (Ormas) karena dianggap akan kembali ke masa orde baru. (sumber: Suara Pembaruan) |
Koalisi Akbar akan mengajukan gugatan uji materi (judicial review) UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan peraturan yang disetujui DPR itu menjadi dokumen negara.
Koalisi Akbar terdiri atas 95 organisasi yang berlatar belakang lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kalangan intelektual.
RUU Ormas telah disetujui DPR pada 2 Juli 2013 dan kini menunggu pengesahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Kami tinggal tunggu Presiden SBY mengesahkan UU Ormas menjadi dokumen negara. Kami sudah menyiapkan bahan uji materi di bawah LBH Jakarta. Teman-teman sudah siapkan bahannya,” kata Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI Romo Benny Susetyo di Jakarta, Selasa (9/7).
Sikap serupa juga diungkapkan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe. Dia mengatakan, PGI sebagai organisasi keagamaan akan bergabung bersama koalisi masyarakat sipil untuk menggugat UU Ormas yang telah disahkan DPR, pada 2 Juli 2013 lalu.
“PGI tetap pada sikap yang sama. Uji materi atas UU Ormas,” kata Pendeta Yewangoe.
Romo Benny yang juga menjabat Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute mengungkapkan bahwa pada era demokrasi saat ini sangat sulit diterima keberadaan UU Ormas.
“Semangat demokrasi tidak butuh UU Ormas. Kami mendesak agar UU Ormas dihapuskan karena tidak sesuai dengan konteks demokrasi,” ujar dia.
Dia mengatakan, koalisi masyarakat sipil akan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapus UU Ormas. Peraturan yang telah disetujui DPR itu dinilai tidak sesuai dengan konteks demokrasi, dan seharusnya cukup diatur dengan perundang-undangan perkumpulan.
Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan UU Ormas dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk melegitimasi pembubaran sejumlah organisasi dan serikat di Indonesia.
“Pengebirian kebebasan berserikat dan berkumpul akan terjadi, padahal kemerdekaan tersebut telah dijamin negara,” kata Din.
Beberapa ormas yang tergabung dalam Koalisi Akbar di antaranya, PP Muhammadiyah, Majelis Tafsir Al Quran, Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi).
Mereka menekankan agar negara hadir secara langsung dalam menangani ormas radikal bukan dengan pengesahan UU Ormas. Di sisi lain, pemerintah berpandangan bahwa UU Ormas dimaksudkan untuk mengatur organisasi kemasyarakatan dan mencegah terjadinya tindakan radikalisme di Indonesia.
Pengesahan RUU Ormas menjadi Undang Undang (UU) dilakukan di tengah maraknya aksi unjuk rasa para pekerja di Gedung Parlemen. Mayoritas fraksi di DPR mendukung pengesahan UU yang dinilai jauh dari nilai-nilai demokrasi dan terkesan represif. Hanya tiga fraksi yang secara terang-terangan menolak pengesahan UU Ormas, yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Koalisi Akbar terdiri atas 95 organisasi yang berlatar belakang lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kalangan intelektual.
RUU Ormas telah disetujui DPR pada 2 Juli 2013 dan kini menunggu pengesahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Kami tinggal tunggu Presiden SBY mengesahkan UU Ormas menjadi dokumen negara. Kami sudah menyiapkan bahan uji materi di bawah LBH Jakarta. Teman-teman sudah siapkan bahannya,” kata Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI Romo Benny Susetyo di Jakarta, Selasa (9/7).
Sikap serupa juga diungkapkan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe. Dia mengatakan, PGI sebagai organisasi keagamaan akan bergabung bersama koalisi masyarakat sipil untuk menggugat UU Ormas yang telah disahkan DPR, pada 2 Juli 2013 lalu.
“PGI tetap pada sikap yang sama. Uji materi atas UU Ormas,” kata Pendeta Yewangoe.
Romo Benny yang juga menjabat Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute mengungkapkan bahwa pada era demokrasi saat ini sangat sulit diterima keberadaan UU Ormas.
“Semangat demokrasi tidak butuh UU Ormas. Kami mendesak agar UU Ormas dihapuskan karena tidak sesuai dengan konteks demokrasi,” ujar dia.
Dia mengatakan, koalisi masyarakat sipil akan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapus UU Ormas. Peraturan yang telah disetujui DPR itu dinilai tidak sesuai dengan konteks demokrasi, dan seharusnya cukup diatur dengan perundang-undangan perkumpulan.
Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan UU Ormas dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk melegitimasi pembubaran sejumlah organisasi dan serikat di Indonesia.
“Pengebirian kebebasan berserikat dan berkumpul akan terjadi, padahal kemerdekaan tersebut telah dijamin negara,” kata Din.
Beberapa ormas yang tergabung dalam Koalisi Akbar di antaranya, PP Muhammadiyah, Majelis Tafsir Al Quran, Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi).
Mereka menekankan agar negara hadir secara langsung dalam menangani ormas radikal bukan dengan pengesahan UU Ormas. Di sisi lain, pemerintah berpandangan bahwa UU Ormas dimaksudkan untuk mengatur organisasi kemasyarakatan dan mencegah terjadinya tindakan radikalisme di Indonesia.
Pengesahan RUU Ormas menjadi Undang Undang (UU) dilakukan di tengah maraknya aksi unjuk rasa para pekerja di Gedung Parlemen. Mayoritas fraksi di DPR mendukung pengesahan UU yang dinilai jauh dari nilai-nilai demokrasi dan terkesan represif. Hanya tiga fraksi yang secara terang-terangan menolak pengesahan UU Ormas, yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Penulis: Nov/FMB
Sumber:Investor Daily, www.setara-institute.org, Beritasatu.com
Sumber:Investor Daily, www.setara-institute.org, Beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar