Harga untuk Menjadi Berbeda di Indonesia



Pada tahun 2012, Bella (bukan nama sebenarnya), wanita usia 22 tahun di Kebumen, mendapatkan kekerasan fisik dan psikis dari keluarganya. Keluarga memaksanya menikah dan ia pun mendapatkan kekerasan serupa dari sang suami yang kerap memaksa untuk berhubungan seksual (perkosaan dalam perkawinan/marital rape).

Di Lampung, seorang pemuda bernama Robin (bukan nama sebenarnya) dijebak keluarganya untuk memasuki sebuah lembaga keagamaan di daerah Jawa Barat. Di lembaga keagamaan ini, Robin yang kala itu (2006) berusia 28 tahun merasa seperti di penjara dengan pengawasan penuh 24 jam. Perlakuan tidak manusiawi serta kekerasan fisik adalah makanan sehari-hari.

Pada tahun 2011, “AY” ditembak di Menteng, Jakarta. Hasil otopsi menunjukkan AY ditembak dari jarak sedekat 1 meter dan dipukul di bagian dada. Dicurigai ia ditembak oleh seorang petugas kepolisian atau seseorang yang masih berhubungan dengan polisi. Kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian Menteng tetapi masih tidak ada informasi dan tindak lanjut hingga saat ini.

Bella, Robin, dan AY memiliki sebuah kesamaan yang mengantarkan mereka pada perlakuan tidak manusiawi. Apakah mata rantai dari ketiga kasus tersebut?

Bella, Robin dan AY adalah “berbeda”. Mereka memiliki orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender yang berbeda dari konstruksi mainstream masyarakat Indonesia. Bella adalah seorang lesbian. Robin adalah seorang pria gay. Dan AY adalah seorang waria. Apa yang mereka alami adalah contoh dari diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan gender. Harga yang mereka bayar untuk menjadi berbeda. Harga yang mereka bayar untuk sebuah eksistensi.

Masih banyak cerita lain tentang diskriminasi yang dialami oleh individu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) di Indonesia. Secara definisi, seorang lesbian adalah perempuan yang tertarik terhadap sesama perempuan. Pria gay adalah pria yang tertarik kepada sesama pria. Seorang biseksual adalah orang tertarik pada individu sesama jenis atau berbeda jenis. Seorang transgender adalah orang yang identitas psikologisnya (identitas gender) berbeda dengan ekspektasi sosial terhadap fisik jenis kelamin yang ia miliki sejak lahir.[1]

Rangkuman situasi diskriminasi ini sudah mulai didokumentasikan pada “Laporan Situasi HAM LGBTI di Indonesia Tahun 2012 – Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender.” [2] Laporan ini diprakarsai oleh sejumlah LSM pro-LGBT di Indonesia (seperti GAYa Nusantara dan Arus Pelangi) yang bekerja sama dengan Komnas HAM.

Diskriminasi dan kekerasan bisa datang dari keluarga, masyarakat, atau aparat negara. Bahkan di era modern seperti sekarang, sebagian besar masyarakat Indonesia masih konservatif dan memandang bahwa LGBT adalah manusia yang menyimpang, bersalah, pendosa, yang terendah dari yang terendah. Pandangan ini mengembangkan sebuah pandangan lagi bahwa praktik untuk memperlakukan LGBT dengan kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia pantas dilakukan.

Banyak keluarga yang memaksa anaknya yang lesbian dan gay untuk menikah. Banyak yang diperkosa oleh anggota keluarga bahkan diusir dari rumah. Pada beberapa kasus, lesbian diperkosa “korektif” oleh anggota keluarga untuk “menyembuhkan” dan mengubah mereka menjadi heteroseksual. Kisah Bella adalah salah satu contohnya.

Seperti yang dialami Robin, banyak keluarga yang memaksa anak lesbian dan gay mereka untuk mengunjungi ahli pengobatan tradisional di mana mereka menerima kekerasan psikologis dan fisik serta perlakuan tidak manusiawi dari “penyembuh” tersebut.

Tidak mudah bagi transgender untuk mendapatkan pekerjaan jika penampilan mereka tidak sesuai dengan gender sejati mereka. Seorang transgender sering harus mengubah penampilan mereka agar bisa bekerja, bahkan di tempat seperti salon kecantikan sekalipun. Pada kasus lain, seorang transgender terpaksa mengundurkan diri dari posisi mengajar karena diskriminasi yang diterima makin tak tertahankan. [3]

Kasus lainnya meliputi cacian, intimidasi, dipermalukan di muka umum (seperti ditelanjangi), atau diusir dari tempat tinggal atau desa hingga dilempari dengan batu oleh masyarakat (kasus pada awal tahun 2013 di Jakarta yang telah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).

Orientasi dan gender non-heteroseksual sering dicap sebagai menyimpang, produk dari budaya Barat yang telah menodai budaya luhur Indonesia. Benarkah demikian?

Realitanya, sejarah kebudayaan Indonesia justru menunjukkan berbagai ragam jenis kelamin dan gender di Nusantara. Keberagaman yang sudah jauh ada sebelum masuknya pengaruh asing. Masyarakat Bugis mengenal calalai (perempuan maskulin), calabai (lelaki feminin), dan bissu (pendeta dengan kombinasi sifat keempat gender yang ada). Pada seni tradisional reyog di Ponorogo, gemblakan biasanya gemulai berhubungan dengan warok atau warokan. Praktik hubungan seksual sejenis bahkan telah mempunyai istilah dalam bahasa Jawa di masa lampau, yaitu jinambu (pasif) dan anjambu (aktif). Begitu juga pada kesenian indang di Sumatra Barat, para penarinya adalah remaja lelaki yang gemulai yang biasanya tidur bersama dengan manajer grup itu. Fakta tentang keberagaman budaya ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia jelas pluralistis.

Tapi bagaimana dengan posisi hukum Indonesia mengenai isu ini?

Seperti disebutkan sebelumnya, diskriminasi terhadap individu LGBT juga datang dari sistem negara. Sejumlah masalah institusional ditemukan dalam peraturan hukum yang memberikan kewenangan kepada aktor negara untuk melakukan diskriminasi (by commission). Masalah-masalah ini membuat lembaga pemerintahan ikut menambah kontribusi dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap LGBT, baik by omission (pengabaian kewajiban) maupun by commission.

Satpol PP adalah unit keamanan tingkat regional yang beroperasi di seluruh Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP berwenang untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan di suatu wilayah, salah satunya melalui razia.

Salah satu target razia adalah untuk menertibkan pekerja seks komersial (PSK). Karena pilihan hidup yang terbatas, banyak waria yang akhirnya tidak punya banyak pilihan selain menjadi PSK untuk mencari nafkah. Hal ini membuat waria yang kebetulan merupakan PSK menjadi target razia. Namun seringkali, waria yang bukan PSK turut menjadi korban razia. Selain itu, tidak bisa dinafikan bahwa terdapat stigma di tengah masyarakat yang memandang waria sebagai sosok yang mengganggu dan menakutkan. Dan telah menjadi tugas Satpol PP untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum.

Akan tetapi, dalam melakukan razia, Satpol PP melakukan banyak pelanggaran hak asasi, terutama jika sasaran razia adalah waria. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut, meliputi penangkapan, dinaikkan ke mobil razia, diperas, digeledah paksa, dan dipukuli. Para waria korban razia biasanya dibuang di tengah jalan atau dibawa ke kantor Satpol PP. Seringkali, waria korban razia dimaki dan dianiaya, dipaksa untuk berhubungan seksual dengan petugas atau dipaksa untuk memperlihatkan alat kelamin mereka. Mereka kemudian dipukuli lagi dan disuruh melakukan berbagai hal jika ingin bebas (kasus di Batam, 2010).

Salah satu razia yang berlebihan juga berakibat pada kematian seorang transgender laki-perempuan yang tenggelam selama razia Satpol PP di Taman Lawang, Jakarta, pada tahun 2007. Setelah hal itu terjadi, Satpol PP menghapus semua catatan razia untuk hari itu. Sampai saat ini, polisi telah gagal untuk melanjutkan penyelidikan dengan alasan kurangnya saksi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak dalam posisi untuk mendesak polisi untuk bertindak profesional. [3]

Kepolisian juga merupakan salah satu institusi yang secara rutin melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia terhadap individu LGBT. Dalam kebanyakan kasus, laporan hukum yang diajukan oleh pihak LGBT kepada polisi tampaknya mengalami kemandekan proses hukum. Perlahan kasus dibekukan dan akhirnya menghilang dalam labirin administrasi penegakan hukum. Kasus penembakan AY adalah salah satu contohnya.

Negara Indonesia melalui UUD 1945 Pasal 28 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menjamin kebebasan berekspresi dan Hak Asasi warga negara. Pada tahun 2005, Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang tertuang dalam UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik). Muatan UU ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati HAM yang termaktub dalam Deklarasi Universal HAM oleh PBB serta instrumen internasional lain mengenai HAM.

Namun, begitu banyaknya cerita diskriminasi yang disebutkan di sini menunjukkan bahwa praktik atau implementasi hukum bertentangan dengan apa yang tertulis. Razia berlebihan Satpol PP (Jakarta, 2007) telah menjarah hak hidup seorang transgender. Hak Dita (disebutkan di atas) untuk mendapatkan akses yang sama ke lapangan pekerjaan telah dilanggar. Eksekusi terhadap kasus pembunuhan AY adalah contoh perampasan hak atas keadilan (mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang sama di mata hukum). Dan cerita-cerita lain yang ditulis di sini mencerminkan pelanggaran hak atas rasa aman (bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia).

Lebih lanjut, lubang dalam hukum Indonesia juga terdapat pada Hukum Pidana Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan yang menyatakan,

“Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Pasal ini mengimplikasikan bahwa perlindungan hukum atas perkosaan hanya berlaku pada korban perkosaan perempuan, tapi tidak berlaku pada korban perkosaan laki-laki. Karena identitas gender yang “menyimpang” (seperti transgender) tidak secara resmi diakui di Indonesia, transgender (biasanya laki-laki ke perempuan/waria) sering menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan karena berdasarkan definisi pasal mereka dikecualikan dari perlindungan hukum. Pasal ini juga tampaknya mengabaikan konsep marital rape.

Kecacatan pada lembaga dan hukum Indonesia menghalangi individu LGBT untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara di Indonesia. Advokasi untuk kasus-kasus hukum yang dihadapi individu LGBT sejauh ini mencoba memanfaatkan peraturan yang lebih spesifik pada jenis diskriminasi dan tindak kekerasan yang diterima. Namun, pengabaian oleh sistem negara sering mengantarkan individu LGBT Indonesia ke posisi sulit.

Realita ini menambah tekanan ke banyak pribadi LGBT untuk makin bersembunyi. Menelan stigma negatif dari masyarakat menjadi stigma ke diri sendiri (self-stigma). Sebuah lingkaran setan yang semakin menjauhkan mereka dari pemenuhan hak asasi sebagai manusia.

Manusia terlahir dengan hak asasi. Anda, saya, dan semua orang memilikinya. Hak bersifat universal: laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, relijius dan non-relijius, heteroseksual dan homoseksual, transgender dan non-transgender. Hak dimiliki oleh semua orang secara setara. Hak ditentukan oleh kebutuhan manusia untuk membuat hidupnya bermakna dan sangat penting untuk menjaga kita tetap merasa hidup. Hak menjadi sangat berharga ketika hilang. Hak adalah tuntutan Anda terhadap orang lain sejauh dalam menggunakan hak, Anda tidak menghentikan orang lain menjalankan haknya.

Masyarakat Indonesia sering membanggakan diri sebagai bangsa yang pluralis dan toleran. Tetapi dengan kenyataan tragis tentang diskriminasi yang dialami oleh begitu banyak orang LGBT di Indonesia, apakah Indonesia telah kehilangan semangat pluralismenya?

References:

http://geneq.berkeley.edu/lgbt_resources_definiton_of_terms
http://gaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/laporan-situasi-ham-LGBT-di-indonesia.html
http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/ngos/HRWG_1_Indonesia_HRC107.pdf
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2039%20Th%201999%20ttg%20%20Hak%20Asasi%20Manusia.pdf
http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/undang-undang-nomor-44-tahun-2008-tentang-pornografi-sebuah-kemunduran-bagian-pertama/
http://www.hkhrm.org.hk/english/booklets/eng_bk2.html
http://www.uas.alaska.edu/juneau/activities/safezone/docs/lgbtiq_terminology.pdf

Wawancara dengan BudidarmoWidodo, General Secretary ArusPelangi
Wawancara dengan Robin (nama samaran)

24 October 2013 | 19:34
Sumber: sosbud.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar

International Atheists International Atheists James Randi Foundation richard dawkins foundation
Flag Counter






Diberdayakan oleh Blogger.
 
Email: skepticalface@gmail.com | skepticalface@gmail.com | skepticalface@gmail.com
Copyright © 2013. Indonesian Skeptics - Up To Date 2023 - All Rights Reserved.
Template Created by Mas Kolis Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger