Tulisan ini berawal dari sebuah post saya di Facebook beberapa minggu lalu ketika saya mengomentari sebuah isu di mana seorang politisi mengatakan bahwa situs–situs “Islami” (baca: arrahmah, voa-islam, dkk) lebih berbahaya dari situs porno.
Saya berargumen bahwa situs porno sebetulnya memang tidak berbahaya, malah beberapa studi mengatakan bahwa konsumsi pornografi di suatu masyarakat sebetulnya berbanding terbalik dengan social harm yang berhubungan dengan seks seperti pemerkosaan, kehamilan remaja, dsb. Berikut potongan pembahasan saya waktu itu:
Emang apa sih bahayanya situs porno?
Kalau kata Tifatul Sembiring atau Habib Selon sih banyak, berimbas ke mulai dari pemerkosaan sampai kepada bumi gonjang-ganjing langit bergelinjang gunung meletus pesawat jatuh—semuanya disebabkan oleh situs porno dan Lady Gaga.
Emang apa sih bahayanya situs porno?
Kalau kata Tifatul Sembiring atau Habib Selon sih banyak, berimbas ke mulai dari pemerkosaan sampai kepada bumi gonjang-ganjing langit bergelinjang gunung meletus pesawat jatuh—semuanya disebabkan oleh situs porno dan Lady Gaga.
Tapi apa bener begitu?
Dalam banyak studi yang sudah saya baca, pornografi justru berdampak positif terhadap masyarakat, sebagaimana terlihat di negara-negara dengan konsumsi pornografi yang meningkat—justru beragam masalah sosial yang berhubungan dengan seks seperti perkosaan, kehamilan remaja, penyakit menular seksual sampai pada aborsi justru menurun
Pada bagian awal dari kutipan saya tersebut, saya sedikit menyinggung mengenai sebuah stigma yang muncul akhir–akhir ini bahwa hal buruk yang terjadi di antara kita adalah akibat berbagai tindakan “amoral” masyarakat dan cara menyelamatkannya ya dengan memperbaiki moral masyarakat.
Tentu saja pola pikir yang seperti itu spontan menjadi semacam lelucon di kalangan mereka yang tidak mempercayainya, baik itu dari kalangan ateis, teis berlainan agama maupun teis seagama yang tidak setuju dan menganggap pola pikir demikian itu primitif dan tidak ilmiah.
Tapi yang menjadi menarik adalah ketika kita mempertanyakan:
“Apa iya agama ‘segitunya’ dalam memandang isu korelasi antara bencana dan maksiat itu? Apa sejak jaman dulu sudah begitu, terus dipertahankan sampai sekarang gitu?”
Nah, untuk menjawabnya, dalam artikel ini saya akan mengangkat 2 buah peristiwa penting dalam sejarah peradaban yang dibangun di atas filosofi agama samawi terkait dengan cara memandang hubungan antara bencana dan maksiat ini. Semoga bermanfaat ;)
Raja Louis IX dan Perang Salib ke-7 (Abad 13)
Pasca direbutnya kembali Yerusalem oleh Sultan Salahudin Ayyubi di abad ke-12, semua usaha Pasukan Salib untuk kembali menguasai Yerusalem yang paling mendekati keberhasilan hanyalah di bawah komando raja legendaris Inggris Richard the Lionheart, di mana ia sempat beradu strategi langsung melawan Salahudin sebelum akhirnya memutuskan pulang ke Inggris karena adik kandungnya berusaha merebut takhta darinya.
Tujuh puluh tahun sejak era Richard the Lionheart, Pasukan Salib hanya bisa gigit jari dalam setiap usahanya merebut Yerusalem hingga akhirnya muncullah Raja Louis IX dari Perancis.
Louis IX, Pemimpin Pasukan Salib di Perang Salib ke-7 |
Louis IX mendeklarasikan visinya bahwa alasan gagalnya perjuangan Pasukan Salib untuk menunaikan misi suci mereka merebut kembali Yerusalem adalah selain kurangnya persiapan juga karena mereka tidak diberkati oleh Tuhan.
Ia beranggapan bahwa selain kegagalan Eropa merebut Yerusalem, krisis dan wabah di negaranya adalah hukuman Tuhan karena buruknya moralitas di negara mereka, termasuk di antaranya korupsi para pejabat publik. Sehingga menurutnya, cara terbaik untuk memperbaiki negerinya adalah dengan menunaikan misi suci sekaligus tanggung jawab mereka kepada Tuhan yaitu dengan merebut kembali Yerusalem dari penguasa Muslim.
Namun untuk melaksanakan itu pun beliau masih memiliki satu masalah: Raja Louis IX beranggapan selama ini kegagalan Pasukan Salib juga merupakan hukuman Tuhan. Karenanya ia memiliki visi bahwa sebelum berangkat berjuang, Pasukan Salib ini perlu terlebih dahulu menyucikan diri dan negara mereka.
Louis IX memungut pajak besar dari rakyatnya yang digunakan membiayai operasi pemberantasan korupsi, inspeksi maksiat, biaya logistik selama perang dan juga pelatihan sekaligus pertapaan dan penyucian diri pasukan elite yang akan dibawanya mengembara.
Visi Louis IX sungguh inspiratif. Sekalipun negara mereka tidak sedang dalam kondisi baik, rakyat mempercayakan nasib mereka pada sang raja dan membayar pajak tersebut.
Akhirnya berangkatlah mereka, puluhan ribu tentara elite yang selain telah terlatih bertempur juga telah menyucikan diri mereka dengan berbagai ritual keagamaan selama berbulan–bulan. Mereka berlayar ke Mesir untuk menyerang pusat pemerintahan Islam demi menaklukkan musuh bebuyutan mereka tersebut dan merebut kembali Yerusalem.
Hasilnya?
Setelah sukses membantai satu camp penjagaan Muslim di Gideila, mereka kemudian melanjutkan serangan mereka ke Al Mansurah.
Di mana di sana mereka…
Kalah strategi … dan dihabisi … sampai rata.
Pasukan Salib yang terlatih dan tersucikan itu pun kembali ke negaranya dengan kekalahan dan kenangan dari ribuan tentara yang tewas dalam perang. Sang Raja dengan berbekal pembersihan diri dan negara gagal menyelesaikan misi sucinya. Dan keadaan rakyatnya pun tidak membaik.
Nilometer dan Banjir Sungai Nil (Abad 9)
Beberapa ratus tahun sebelum era Perang Salib, Islam tengah melebarkan sayap kekuasaan selebar–lebarnya, termasuk salah satunya ke Mesir.
Salah satu isu yang dihadapi oleh pemerintah Mesir kala itu adalah banjir dari sungai Nil yang bisa datang tiba–tiba dan merusak properti rakyat maupun pemerintah. Mengingat pentingnya sungai Nil dan banjirnya tersebut bagi kehidupan rakyat, pemerintah Muslim pun tidak tinggal diam dan mengambil tindakan untuk mengurangi efek dari bencana tersebut.
Kala itu, Islam telah terbekali dengan sains yang sangat modern (di masanya), yang mereka kumpulkan dari seluruh penjuru dunia dalam “gerakan penerjemahan buku” yang terkenal itu. Selain itu mereka juga mempelajari pengetahuan lokal rakyat Mesir mengenai cara memprediksi banjir sungai Nil dengan membandingkan ketinggian air dengan tahun–tahun sebelumnya. Dengan bekal pengetahuan tersebut, mereka membangun sebuah bangunan yang elok dan berguna yang sekarang kita kenal sebagai Nilometer.
Bagian Langit – Langit Nilometer |
Nilometer di atas dibangun di abad ke-9 dan telah memiliki arsitektur yang begitu elok juga konstruksi yang kuat berdiri hingga berabad–abad kemudian.
Cara kerja Nilometer sebetulnya sangat sederhana. Dari tahun ke tahun pada periode sebelumnya masyarakat Mesir telah mencatat ketinggian di beberapa bagian sungai Nil setiap tahunnya dengan cara mengukir sebuah garis di batu dan mendeskripsikan kejadian apa yang terjadi di tahun tersebut.
Pada tahun–tahun berikutnya, mereka akan menebak apa yang akan terjadi di tahun tersebut berdasarkan garis catatan yang paling mendekati ketinggian air di tahun tersebut.
Dengan ilmu matematika dan konstruksi yang telah matang dan baku, pemerintah Muslim membentuk Nilometer yang sebetulnya adalah penggaris raksasa yang didirikan dari dasar tanah hingga ke permukaan. Berkat perhitungan dengan satuan baku dan presisi yang lebih baik, Nilometer yang dibangun pemerintah Muslim ini tidak hanya dapat menebak kejadian apa yang terjadi (banjir atau tidak, kemarau atau tidak) namun juga memperkirakan dengan presisi yang cukup tinggi skala dari kejadian yang akan terjadi: Jika banjir separah apa? Jika kemarau sekering apa?
Ilustrasi Nilometer Sederhana dan Penggaris Raksasa Di Tengahnya |
Berkat adanya Nilometer, setiap tahun pemerintah selalu dapat memperkirakan kejadian apa yang akan lahir di tahun tersebut dan menyusun program–program penanggulangan bencana jika sampai terjadi sesuatu secara efektif dan efisien
Penutup
Saya memilih 2 potongan sejarah di atas karena keduanya menggambarkan kubu yang sangat berbeda dalam menyikapi bencana nasional, di mana yang satu menyikapinya dengan mengkaitkan bencana dan kemaksiatan, sementara yang satu lagi memandang secara ilmiah dan menjadikan bencana alam sebagai tantangan untuk ditanggulangi dan ditaklukkan.
Selain itu, keduanya pun bagian dari sejarah yang penting bagi agama–agama Samawi, yang satu adalah potongan dari lahirnya era keemasan Islam, sementara yang satu lagi adalah salah satu episode paling besar dari Perang Salib yang berlangsung berabad–abad tersebut.
Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa sejarah mencatat adanya keberagaman cara agama menyikapi bencana alam; ada yang begini, ada yang begitu. Perkara sekarang Anda mau lebih memilih sudut pandang yang mana ya kembali ke pilihan Anda masing–masing.
Catatan Kaki:
Sekedar mengingatkan, Mesir di bawah pemerintahan Muslim saat itu sudah punya Nilometer pada abad ke-9 loh. Abad ke-9 itu 12 abad lalu loh. Seribu dua ratus tahun sebelum komentar Tifatul yang saya kutip di atas, mereka sudah punya pola pikir demikian.
SERIBU DUA RATUS TAHUN LOH!.
Ngingetin aja sih.
Sekian.
26 Agustus 2013 by Rizky Andriawan
Sumber: andabertanyaateismenjawab.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar