Sedikitnya 100 orang santri putri dan putra diketahui telah menjadi korban kekerasan seksual di sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Jateng selama tahun 2011.
Data ini diungkapkan Direktur Legal Resources Cencer untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jateng, Fatkhurozi kepada Solopos.com di Semarang, Kamis (8/3/2012).
Kasus ini, jelas dia, terjadi pada beberapa Ponpes di daerah, antara lain Wonogiri, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Klaten, Batang, Pati, Solo, Temanggung dan Jepara.
Bentuk kekerasan seksual yang menimpa para santri itu, misalnya untuk putra disodomi, sedang satri putri pelecehan seksual, kawin paksa.
“Dari 100 orang itu, korbannya kebanyakan santri perempuan berusia antara 14 tahun sampai 18 tahun,” ujarnya.
Pelaku tindak kekerasan seksual di Ponpes, kata Fatkhurozi, para pengasuh pondok seperti, kiai, guru spiritual, ustad atau guru, guru mursid. Modusnya menggunakan beragam jenis, misalnya dengan mengancam para santri kalau menolak akan disantet, ditakuti orangtua atau saudaranya akan meninggal. Dijanjikan derajatnya meningkat dan akan masuk surga.
“Ada juga yang diberikan minuman yang telah diberi ramuan tertentu sehingga setelah santri minum langsung tak sadarkan diri,” katanya. Bila sampai terjadi kehamilan bagi santri putri, maka dipaksa agar kandungannya digugurkan atau aborsi.
“Kejadian ini terjadi di Ponpes di Kota Semarang, sebanyak 26 santri putrid dipaksa aborsi,” imbuhnya.
Kekerasan seksual terhadap santri ini, lanjut dia, tak hanya terjadi di Ponpes tradisional yang berada daerah, tapi juga Ponpes moderen di perkotaan. Santri yang menjadi korban kekerasan seksual, ujar Fatkhurozi, kebanyakan tak berani melaporkan kasusnya kepada apara penegak hukum.
“Beberapa korban putri memang ada yang melaporkan ke LRC-KJHAM. Kami juga mendapatkan laporan adanya kekerasan seksual di Ponpes dari para alumni Ponpes di sana,” ujarnya.
Dia memperkirakan jumlah kasus dan kekerasan seksual di lingkungan Ponpes lebih banyak, karena hanya sebagian saja yang terungkap ke permukaan. Sebab para pengasuh Ponpes kadang menggunakan dalil agama untuk melegitimasi mereka melakukan tindak kekerasan, sehingga membuat santri takut melaporkan kepada keluarga atau orang luar.
”Sangat disayangkan dengan menggunakan kedok agama (Ponpes), para pelaku bisa bebas melakukan kekerasan seksual terhadap para santri,” katanya.
Dengan kondisi ini, ujar dia, LRC-KJHAM Jateng mendesak kepada pemerintah, terutama Kementerian Agama supaya melakukan pengawasan yang ketat terhadap sistem pembelajaran di Ponpes.
Kepada para orang tua, juga harus ikut mengawasi anak-anaknya yang belajar di Ponpes secara rutin, sehingga bisa mengetahui kondisi mereka. ”Kami mendorong para korban dan orang tua korban agar berani melaporkan kepada aparat kepolisian,” pungkasnya.
Kamis, 8 Maret 2012 21:15 WIB
Insetyonoto/JIBI/SOLOPOS
Data ini diungkapkan Direktur Legal Resources Cencer untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jateng, Fatkhurozi kepada Solopos.com di Semarang, Kamis (8/3/2012).
Kasus ini, jelas dia, terjadi pada beberapa Ponpes di daerah, antara lain Wonogiri, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Klaten, Batang, Pati, Solo, Temanggung dan Jepara.
Bentuk kekerasan seksual yang menimpa para santri itu, misalnya untuk putra disodomi, sedang satri putri pelecehan seksual, kawin paksa.
“Dari 100 orang itu, korbannya kebanyakan santri perempuan berusia antara 14 tahun sampai 18 tahun,” ujarnya.
Pelaku tindak kekerasan seksual di Ponpes, kata Fatkhurozi, para pengasuh pondok seperti, kiai, guru spiritual, ustad atau guru, guru mursid. Modusnya menggunakan beragam jenis, misalnya dengan mengancam para santri kalau menolak akan disantet, ditakuti orangtua atau saudaranya akan meninggal. Dijanjikan derajatnya meningkat dan akan masuk surga.
“Ada juga yang diberikan minuman yang telah diberi ramuan tertentu sehingga setelah santri minum langsung tak sadarkan diri,” katanya. Bila sampai terjadi kehamilan bagi santri putri, maka dipaksa agar kandungannya digugurkan atau aborsi.
“Kejadian ini terjadi di Ponpes di Kota Semarang, sebanyak 26 santri putrid dipaksa aborsi,” imbuhnya.
Kekerasan seksual terhadap santri ini, lanjut dia, tak hanya terjadi di Ponpes tradisional yang berada daerah, tapi juga Ponpes moderen di perkotaan. Santri yang menjadi korban kekerasan seksual, ujar Fatkhurozi, kebanyakan tak berani melaporkan kasusnya kepada apara penegak hukum.
“Beberapa korban putri memang ada yang melaporkan ke LRC-KJHAM. Kami juga mendapatkan laporan adanya kekerasan seksual di Ponpes dari para alumni Ponpes di sana,” ujarnya.
Dia memperkirakan jumlah kasus dan kekerasan seksual di lingkungan Ponpes lebih banyak, karena hanya sebagian saja yang terungkap ke permukaan. Sebab para pengasuh Ponpes kadang menggunakan dalil agama untuk melegitimasi mereka melakukan tindak kekerasan, sehingga membuat santri takut melaporkan kepada keluarga atau orang luar.
”Sangat disayangkan dengan menggunakan kedok agama (Ponpes), para pelaku bisa bebas melakukan kekerasan seksual terhadap para santri,” katanya.
Dengan kondisi ini, ujar dia, LRC-KJHAM Jateng mendesak kepada pemerintah, terutama Kementerian Agama supaya melakukan pengawasan yang ketat terhadap sistem pembelajaran di Ponpes.
Kepada para orang tua, juga harus ikut mengawasi anak-anaknya yang belajar di Ponpes secara rutin, sehingga bisa mengetahui kondisi mereka. ”Kami mendorong para korban dan orang tua korban agar berani melaporkan kepada aparat kepolisian,” pungkasnya.
Kamis, 8 Maret 2012 21:15 WIB
Insetyonoto/JIBI/SOLOPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar