Mana yang lebih tepat? Apakah manusia bermoral karena percaya Tuhan atau
manusia percaya Tuhan karena manusia bermoral. Hingga kini, jawaban
pasti pertanyaan itu masih menjadi perdebatan.
Frans de Waal, ahli primata ternama dunia, biolog di Emory University dan Direktur Living Links Center di Yerkes Primate Center di Atlanta, mencoba memberi uraian untuk menuju pada jawaban akan pertanyaan tersebut lewat bukunya, The Bonobo and the Atheist.
Agamawan dan kaum pemeluk agama yang taat pastinya akan menjawab bahwa manusia bermoral karena percaya Tuhan. Namun, De Waal menjawab sebaliknya. Menurutnya, manusia percaya Tuhan karena manusia bermoral.
Jawaban De Waal didasarkan atas hasil penelitian selama bertahun-tahun pada perilaku primata besar seperti simpanse dan bonobo. Ia menunjukkan bahwa moralitas berkembang sebelum manusia dan kebudayaan manusia berkembang.
Penelitian menunjukkan bahwa primata besar memiliki empati. Mereka memiliki rasa keadilan, mereka bisa memelihara dan peduli satu sama lain serta mampu berbagi dengan individu lain yang kurang beruntung.
Karakter primata yang menyerupai sifat manusia tersebut membuat De Waal berpikir bahwa primata pun punya akar moralitas. Walaupun, memang, primata selain manusia belum bisa dikatakan bermoral; primata punya penyusun utama moralitas.
Dalam bukunya, De Waal menuliskan, "Ada sedikit bukti bahwa hewan menilai kesesuaian suatu aksi yang tak secara langsung berdampak pada dirinya. Dalam perilaku ini, kita pun mengenal nilai yang sama."
"Saya mengambil petunjuk-petunjuk kepedulian pada komunitas ini sebagai tanda bahwa penyusun utama moralitas lebih tua dari kemanusiaan, dan kita tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa sampai pada posisi kita sekarang," tulis De Waal seperti dikutip ABC News, Senin (8/4/2013).
De Waal yang juga seorang ateis menegaskan, moralitas berkembang dari proses perkembangan spesies manusia itu sendiri, bukan diberikan oleh Tuhan. Ia mengungkapkan tanda lain adanya moralitas pada primata. Salah satunya, primata selain manusia juga bisa merasa bersalah.
Kasus tersebut dijumpai pada bonobo bernama Lody di Kebun Binatang Milwaukee County. Bonobo itu menggigit tangan dokter hewan yang memberikannya vitamin. Akibat gigitan, dokter hewan tersebut kehilangan satu jari.
Mendengar teriakan sang dokter saat jarinya digigit, Lody menengok ke atas dan terkejut. Ia lalu melepaskan tangan yang sudah kehilangan satu jari itu. Hari berikutnya, saat dokter hewan kembali menengoknya, Lody lari ke sebuah sudut, menundukkan kepala dan melingkarkan tangan di tubuhnya.
Yang mengejutkan, 15 tahun setelah berpisah dengan dokter hewan itu, Lody tetap mengenalinya dan mengingat kesalahannya. Saat dokter hewan itu berdiri di kerumunan, Lody berlari ke dokter itu seraya melihat tangan kiri sang dokter. Lody terus melihat tangan dan wajah dokter itu.
Apa yang dilakukan Lody menjadi bukti adanya bibit-bobot moralitas pada hewan. Apakah Lody merasa malu? Atau, apakah dia takut akan pembalasan? Yang jelas, apa yang dilakukan Lody adalah bukti bahwa dia merasa bersalah, sekaligus menjadi tanda bahwa ia punya bibit moralitas.
Berkali-kali, para ahli primata juga mendokumentasikan rasa bersalah, sedih, dan iba saat pada individu lain yang sekarat, pada ibu kera yang kehilangan anaknya, serta memelihara anakan yang kehilangan orangtuanya.
"Beberapa orang mengatakan, hewan adalah diri mereka sendiri, sementara manusia mengikuti sesuatu yang ideal, tapi itu terbukti salah. Bukan karena kita tak punya sesuatu yang ideal tetapi karena mereka pun memilikinya," tulis De Waal.
Ada satu kasus menarik. Bonobo pun tahu cara mencegah perang. Koloni bonobo kadang berkumpul saat dua pejantan akan berperang. Yang menarik, saat perang telah siap dimulai, bonobo betina yang ada di sekitarnya justru mulai bercinta dengan sesama ataupun lawan jenisnya.
Dalam sudut pandang manusia, apa yang dilakukan bonobo itu bisa disebut orgy. Lalu, apakah orgy adalah wujud moral? Pastinya, bagi manusia, hal itu tidak bermoral. Namun mungkin, bonobo hanya menyadari bahwa memang lebih baik bercinta daripada berperang.
Frans de Waal, ahli primata ternama dunia, biolog di Emory University dan Direktur Living Links Center di Yerkes Primate Center di Atlanta, mencoba memberi uraian untuk menuju pada jawaban akan pertanyaan tersebut lewat bukunya, The Bonobo and the Atheist.
Agamawan dan kaum pemeluk agama yang taat pastinya akan menjawab bahwa manusia bermoral karena percaya Tuhan. Namun, De Waal menjawab sebaliknya. Menurutnya, manusia percaya Tuhan karena manusia bermoral.
Jawaban De Waal didasarkan atas hasil penelitian selama bertahun-tahun pada perilaku primata besar seperti simpanse dan bonobo. Ia menunjukkan bahwa moralitas berkembang sebelum manusia dan kebudayaan manusia berkembang.
Penelitian menunjukkan bahwa primata besar memiliki empati. Mereka memiliki rasa keadilan, mereka bisa memelihara dan peduli satu sama lain serta mampu berbagi dengan individu lain yang kurang beruntung.
Karakter primata yang menyerupai sifat manusia tersebut membuat De Waal berpikir bahwa primata pun punya akar moralitas. Walaupun, memang, primata selain manusia belum bisa dikatakan bermoral; primata punya penyusun utama moralitas.
Dalam bukunya, De Waal menuliskan, "Ada sedikit bukti bahwa hewan menilai kesesuaian suatu aksi yang tak secara langsung berdampak pada dirinya. Dalam perilaku ini, kita pun mengenal nilai yang sama."
"Saya mengambil petunjuk-petunjuk kepedulian pada komunitas ini sebagai tanda bahwa penyusun utama moralitas lebih tua dari kemanusiaan, dan kita tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa sampai pada posisi kita sekarang," tulis De Waal seperti dikutip ABC News, Senin (8/4/2013).
De Waal yang juga seorang ateis menegaskan, moralitas berkembang dari proses perkembangan spesies manusia itu sendiri, bukan diberikan oleh Tuhan. Ia mengungkapkan tanda lain adanya moralitas pada primata. Salah satunya, primata selain manusia juga bisa merasa bersalah.
Kasus tersebut dijumpai pada bonobo bernama Lody di Kebun Binatang Milwaukee County. Bonobo itu menggigit tangan dokter hewan yang memberikannya vitamin. Akibat gigitan, dokter hewan tersebut kehilangan satu jari.
Mendengar teriakan sang dokter saat jarinya digigit, Lody menengok ke atas dan terkejut. Ia lalu melepaskan tangan yang sudah kehilangan satu jari itu. Hari berikutnya, saat dokter hewan kembali menengoknya, Lody lari ke sebuah sudut, menundukkan kepala dan melingkarkan tangan di tubuhnya.
Yang mengejutkan, 15 tahun setelah berpisah dengan dokter hewan itu, Lody tetap mengenalinya dan mengingat kesalahannya. Saat dokter hewan itu berdiri di kerumunan, Lody berlari ke dokter itu seraya melihat tangan kiri sang dokter. Lody terus melihat tangan dan wajah dokter itu.
Apa yang dilakukan Lody menjadi bukti adanya bibit-bobot moralitas pada hewan. Apakah Lody merasa malu? Atau, apakah dia takut akan pembalasan? Yang jelas, apa yang dilakukan Lody adalah bukti bahwa dia merasa bersalah, sekaligus menjadi tanda bahwa ia punya bibit moralitas.
Berkali-kali, para ahli primata juga mendokumentasikan rasa bersalah, sedih, dan iba saat pada individu lain yang sekarat, pada ibu kera yang kehilangan anaknya, serta memelihara anakan yang kehilangan orangtuanya.
"Beberapa orang mengatakan, hewan adalah diri mereka sendiri, sementara manusia mengikuti sesuatu yang ideal, tapi itu terbukti salah. Bukan karena kita tak punya sesuatu yang ideal tetapi karena mereka pun memilikinya," tulis De Waal.
Ada satu kasus menarik. Bonobo pun tahu cara mencegah perang. Koloni bonobo kadang berkumpul saat dua pejantan akan berperang. Yang menarik, saat perang telah siap dimulai, bonobo betina yang ada di sekitarnya justru mulai bercinta dengan sesama ataupun lawan jenisnya.
Dalam sudut pandang manusia, apa yang dilakukan bonobo itu bisa disebut orgy. Lalu, apakah orgy adalah wujud moral? Pastinya, bagi manusia, hal itu tidak bermoral. Namun mungkin, bonobo hanya menyadari bahwa memang lebih baik bercinta daripada berperang.
Penulis: Yunanto Wiji Utomo
Selasa, 9 April 2013 | 17:56 WIB
Sumber: Sains.kompas.com, ABCNews
0 komentar:
Posting Komentar