Sebuah penemuan teknologi baru memungkinkan penyandang tunanetra dapat "melihat" benda dan orang. Prototipe akan mulai diuji mulai tahun depan.
Periset di Universitas Monash, Melbourne, akan membuat prototipe penemuan ini untuk diujikan pada para penyandang tunanetra selama enam bulan. Uji coba dijadwalkan dimulai awal tahun depan. Teknologi mutakhir yang disebut dengan Monash Vision tersebut merupakan karya dari sekitar 60 periset universitas itu.
Sebuah alat dipasang pada otak melalui implantasi, yang kemudian dihubungkan ke kamera kecil secara nirkabel. Kamera tersebut dapat dipasang pada kacamata atau bahkan jari penyandang tunanetra.
Dari kamera inilah imaji ditangkap, kemudian dikirimkan melalui prosesor digital ke chip yang ditanam di otak. Chip yang ditanam di bawah tengkorak pada bagian belakang kepala ini yang akan menstimulasi korteks melalui elektroda, yang memungkinkan otak "menerjemahkan" imaji.
Dengan teknologi ini, para penyandang tunanetra akan melihat benda-benda berupa serangkaian titik dengan warna yang jelas. Perangkat lunak yang bisa mengenali wajah memungkinkan pengguna mengenali orang lain. Sedangkan perangkat lunak lain yang digunakan untuk mengenali tangga atau benda lain juga akan kompatibel dengan alat penemuan baru itu.
Direktur proyek Arthur Lowery mengatakan bahwa teknologi tersebut merupakan "terobosan besar" dalam inovasi untuk membantu para penyandang tunanetra. "Ini adalah sistem paling mutakhir karena memungkinkan orang (tunanetra) melihat dan mengenal benda serta warnanya," tuturnya seperti dikutip Guardian Australia, Jumat (7/6/2013).
"Berarti orang (tunanetra) bisa ikut rapat dan akan tahu siapa yang ada di sana dan ada berapa orang. Orang itu juga bisa keluar, ke ruang terbuka, karena mereka bisa melihat pohon," imbuh Lowery. Menurut dia, imaji yang dihasilkan peralatan Monash Vision mirip dengan apa yang dihasilkan radar dan lebih cocok untuk penyandang total blind.
Bagi penyandang tunanetra sebagian ataupun low vision, kata Lowery, alat ini mungkin justru tak akan banyak berguna. "Alat ini hanya menghasilkan beberapa ratus piksel dan kebanyakan dari mereka (penyandang tunanetra sebagian) yang sedikit bisa melihat punya kemampuan (mengenali) piksel yang lebih besar," papar dia.
Karenanya, ujar Lowery, penelitian ini ditujukan bagi penyandang tunanetra yang sama sekali tak bisa melihat. "Yang otaknya tak bisa mengolah benda apa pun, yang tak pernah melihat apa-apa sama sekali," kata dia.
Riset ini bisa berjalan dengan bantuan dana pemerintah. Total dana yang dialokasikan mencapai sekitar 8 juta dollar Australia, lebih dari Rp 80 miliar.
Penulis: Harry Bhaskara
Sabtu, 8 Juni 2013 | 05:55 WIB
Sumber: Sains.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar