Masalah agama dan kehidupan beragama di Indonesia merupakan sesuatu yang sensitif. Perbedaan penafsiran suatu ajaran agama dapat menimbulkan pertikaian atau konflik antar kelompok umat beragama. Misalnya masalah perbedaan mazhab dalam agama Islam pun dapat menimbulkan perpecahan antar umat, padahal masing-masing memiliki landasan hukum yang jelas. Apalagi perbedaan yang bersandar pada penafsiran yang sewenang-wenang yang hanya bersandar pada logika.
UU Pencegahan Penodaan Agama dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam rangka menjaga ketenteraman dan keharmonisan hubungan antar dan intra umat beragama. “Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan atau penodaan agama.”
Pernyataan disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Djamil, MA, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/12/2012). Sidang Nomor 84/PUU-X/2012 dengan pokok perkara pengujian Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ini diajukan oleh Tajul Muluk alias H. Ali Murtadha, Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, Umar Shahab, dan Sebastian Joe.
Pasal 156a KUHP menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama menyatakan: “Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Abdul Djamil melanjutkan, Pemerintah menghawatirkan jika permohonan Tajul Muluk dkk dikabulkan, karena menurut Pemerintah justru dapat menimbulkan kekacauan dan kekosongan hukum. “Sehingga dapat menimbulkan kecemasan, ketegangan, ketidakharmonisan yang mengarah pada konflik horizontal antar umat beragama, bahkan dapat menimbulkan bibit-bibit disintegrasi bangsa,” lanjut Abdul Djamil.
Terkait ketentuan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama, Pemerintah menyatakan sependapat dengan Dr. Mudzakir yang termuat dalam pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah bentuk amandemen KUHP, yakni menambah Pasal 156A. Norma hukum pidana dalam Pasal 156A pada huruf a adalah norma hukum yang menentukan sanksi bagi perbuatan jahat, yang karena sifat jahatnya melekat pada perbuatan yang dilarang. Sedangkan sifat kriminalnya muncul karena memang perbuatan itu adalah jahat. Adapun sifat jahatnya itu adalah permusuhan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan terhadap agama.
Pemerintah menanggapi dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “di muka umum” sangatlah bersifat subjektif dan tidak dapat diukur. Menurut Pemerintah, unsur “di muka umum” pada Pasal 156a KUHP banyak termuat dalam Pasal-Pasal lain dalam KUHP, diantaranya Pasal 156 KUHP, Pasal 157 ayat (1) KUHP, Pasal 160 KUHP. Pemerintah mengutip R. Susilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya,” yang dimaksud “di muka umum” adalah perbuatan yang dilkukan di tempat yang dapat dilihat dan dikunjungi oleh banyak orang atau di tempat umum (halaman 132); tempat yang didatangi publik atau di mana publik dapat mendengar (halaman 136); di tempat umum dan ada orang banyak atau khalayak ramai (halaman 138); di tempat publik dapat melihatnya (halaman 146).
“Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, maka menurut Pemerintah pengertian di muka umum dalam Pasal 156A KUHP juncto Pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama adalah jelas dan tidak bersifat multitafsir,” papar Abdul Djamil.
Kemudian Pemerintah menanggapi dalil Para Pemohon yang menyatakan unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap suatu agama yang dianggap bersifat multitafsir dan tidak jelas tolak ukurnya. Pemerintah dalam hal ini menjelaskan, unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap suatu agama dapat dipahami sebagai menyatakan atau menunjukan dengan perbuatan yang dapat dinilai sebagai memusuhi, membenci, menghina, atau merendahkan, yang dapat memicu pertikaian, pertengkaran, perkelahian, keributan, bahkan pertempuran antar kelompok umat beragama. Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap suatu agama, pengertiannya adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama, yaitu melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari ajaran agama itu.
Adapun pengertian menyimpang yaitu menyimpang dari ajaran agama yang ditentukan di dalam kitab suci, sebagaimana di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan al-Hadits. Kalaupun ada pengertian dari kitab suci yang kurang jelas dan harus ditafsirkan, maka penafsiran tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, melainkan harus oleh orang-orang yang memiliki otoritas atau kapasitas keilmuan untuk menafsirkan ajaran suatu agama.
Penafsiran terhadap suatu ajaran agama yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dapat menghasilkan penafsiran yang menyimpang dan dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. “Karena itu, negara tidak dapat membiarkan keadaan tersebut, karena dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat,” tandas Abdul Djamil. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id
0 komentar:
Posting Komentar