Ateisme adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi. Dalam kata lain, seorang ateis tidak memercayai adanya bentuk kesadaran yang biasa disebut Tuhan, dalam penciptaan alam semesta. Di negara-negara maju yang sekuler, keberadaan ateis bukanlah hal yang aneh. Bahkan, populasi ateis berkembang pesat karena adanya kebebasan berpikir, kemajuan teknologi, dan pengetahuan yang mudah didapat. Lalu bagaimana dengan ateis di Indonesia? Apakah ada manusia yang tidak percaya kepada Tuhan di negara yang memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia? Apakah menjadi ateis di Indonesia melanggar hukum dan tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila yang menjadi falsafah dasar kenegaraan?
Banyak sekali mitos yang salah mengenai seorang ateis. Cukup banyak masyarakat di Indonesia menanggap bahwa orang yang tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah orang yang bebas tak terbatas, tidak mempunyai batasan-batasan moral, sehingga akan merugikan orang lain. Ada pula yang menganggap ateisme sama dengan komunisme atau seorang ateis pastilah komunis. Anggapan awam terhadap ateis ini ternyata banyak yang keliru. Hal ini disebabkan karena adanya stigma buruk mengenai ateisme sehingga penjelasan yang benar mengenai ateisme sulit didapat.
Tidak sedikit juga masyarakat yang bertanya-tanya mengenai ateisme. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai ateisme yang sering ditanyakan oleh masyarakat, yang saya coba jawab berdasarkan penjelasan dari narasumber dan observasi.
Apakah yang dimakud dengan ateisme?
Ateisme adalah ketidakpercayaan akan adanya Tuhan ataupun dewa-dewi. Terdapat berbagai alasan ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi, dari alasan saintifik, filosofis, maupun alasan humanisme. Setiap orang memiliki alasan ketidakpercayaan masing-masing. Yang menyamakan seorang ateis satu dengan lainnya hanyalah posisi yang sama, yaitu posisi ketidakpercayaan kepada Tuhan. Ateisme berasal dari kata ‘a-teisme’ yang merupakan negasi terhadap teisme. Banyak yang salah kaprah dengan menganggap bahwa ateisme berasal dari kata ‘ate-isme’ yang merupakan bentuk ‘isme’ atau ideologi. Kesalahan konsep ini yang sering membuat orang lain berpikir bahwa ateisme sama dengan isme-isme lain seperti agama.
Apakah orang ateis yang tidak percaya tuhan memiliki etika?
Moralitas dapat tercipta tanpa memercayai keberadaan Tuhan, moralitas sepenuhnya tidak tergantung pada Tuhan dan ajaran-ajaran agama. Itu berarti ateis tidak hanya lebih dari sekedar mampu menjalani kehidupan bermoral, mereka bahkan mungkin mampu menjalani hidup lebih bermoral ketimbang pemeluk agama yang mengaburkan hukum dan hukuman ilahi dengan benar dan salah.
Apa yang akan menghentikan Anda melakukan sesuatu yang buruk? Apakah jika tidak ada Tuhan anda akan melakukan sesuatu yang buruk? Apakah merupakan moralitas yang buruk jika seseorang hanya dapat bertindak menurut etika jika seseorang melakukannya karena takut atas hukuman atau janji imbalan?
Moralitas manusia tidak sebatas karena takut atas hukuman Tuhan dan pendambaan terhadap berkah Tuhan (dengan adanya dosa-pahala dan surga-neraka). Tidak hanya ateis, umat beragama sekalipun tidak melulu melakukan kebaikan hanya karena mendambakan surga atau takut pada murka Tuhan dan neraka. Sirkuit altruisme dan neuron cermin di otak manusia membantu manusia untuk mempunyai moralitas. Sirkuit altruisme membuat manusia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain, neuron cermin membuat manusia merasakan kesedihan yang diderita oleh orang lain sehingga melahirkan rasa empati. Dengan adanya sirkuit-sirkuit ini, manusia, baik yang beragama, percaya Tuhan ataupun tidak, dapat mempunyai moralitas. Lalu apakah seorang ateis pasti tidak pernah merugikan orang lain? Apakah seorang yang beragama pastilah mempunyai moralitas? Tentunya hal ini tergantung oleh orang yang bersangkutan.
Banyak yang menanyakan dari mana datangnya moralitas orang yang tidak beragama. Namun, sangat jarang menanyakan kepada diri sendiri, “Mengapa mereka memilih moralitas A atau B”, atau menanyakan “Apa alasan mereka bermoral?”. Apakah seorang bermoral atau memilih moral A karena takut hukuman Tuhan? Untuk orang yang tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan, moralitas adalah tindakan atau keputusan terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.
Apakah tujuan dan makna hidup bagi orang ateis?
Tujuan hidup orang-orang ateis sangat beragam dan tergantung pada visi hidup masing-masing. Tanpa ide tentang Tuhan dan kehidupan mendapatkan surga, tujuan hidup dapat lebih luas dan berwarna tanpa dikejar oleh batasan-batasan untuk mendapatkan tempat setelah kematian.
Memahami nihilistik dengan mengetahui bahwa kita akah kehilangan eksistensi setelah kematian, bukan berarti membuat kita sebagai manusia menjadi depresi dan ingin mengakhiri hidup. Ada atau tidak ada Tuhan, kita dapat memaknai hidup dengan hasrat-hasrat kita sendiri dan tidak hanya tujuan-tujuan apapun atau yang siapapun ciptakan bagi kita. Kita sendiri dapat memilih tujuan hidup kita dan menikmati hidup bersama individu lain dengan beraneka warna. Bahkan seorang yang beragama mempunyai cita-cita dan tujuan hidupnya sendiri.
Sophie, salah satu admin grup Indonesian Atheists di facebook, memberikan pandangan mengenai hidup dalam komentarnya di bawah ini.
“Hidup yang sangat sebentar membuat kita dapat menikmati pencapaian-pencapaian. Bayangkan, betapa membosankan hidup selama-lamanya yang membuat pencapaian kita nampak tidak berarti karena ada kesempatan yang tidak terbatas. Mengetahui bahwa hidup hanya sementara dan tidak akan selama-lamanya membuat hidup lebih menarik dan berarti”
Mungkin begitulah sebagian kaum ateis memaknai hidupnya
Bagaimana orang ateis menghadapi kematian?
Saya sendiri mengenal seorang ateis muda yang sedang menghadapi kematiannya. Bukannya pasrah, seorang ateis muda tersebut nampak semakin produktif dalam mewujudkan cita-cita hidupnya. Pemahamannya bahwa tidak ada hidup setelah kematian nampaknya dapat membuat ia semakin mengerti pentingnya hidup dan memberikan sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik.
Bagi mereka yang tidak percaya tuhan dan kehidupan setelah kematian, jika orang yang mereka cintai meninggal maka berakhirlah hidupnya, dan mereka yang hidup akan meneruskan hidup orang yang sudah tiada dengan meneruskan cita- citanya dan menyebarkan pemikirannya. Seorang ateis tidak dapat membohongi diri mereka sendiri dengan harapan hidup setelah mati yang akan mempertemukan mereka dengan orang yang dicintai setelah mati. Atau harapan akan keadilan yang tidak kita dapatkan saat hidup. Bagi mereka, kita yang masih hiduplah yang harusnya berjuang mendapatkan keadilan itu, bukan berharap adanya keadilan setelah kematian.
Apakah ateisme sama dengan fasisme NAZI dan Komunisme?
Tentu tidak sama. Dari definisi yang telah saya sebutkan di atas, ateisme hanyalah posisi ketidakpercayaan pada eksistensi Tuhan dan dewa-dewi. Menurut Fredrick Engels, Komunisme adalah doktrin mengenai keadaan bagi kemerdekaan proletariat.
Sering sekali kita melihat tudingan bahwa ateisme bertanggung jawab atas fasisme dan pemikiran komunisme. Namun, jika kita melihat sejarah, Gereja Katolik berpihak pada Franco yang fasis dalam Perang Saudara di Spanyol sampai tahun 1960an. Di Italia, Vatikan bahkan menandatangani perjanjian Lateran yang terkenal dengan reputasi buruk dengan pemerintahan Fasis pada 1929, memberikan saling pengakuan antara Italia fasis dan Negara Vatikan dan menjadikan Mussolini pemimpin yang di bawahnya Katolik Roma menjadi agama resmi Italia. Nazi Jerman pun bukanlah negara ateis. Hitler sendiri bahkan mempertahankan pandangan tradisional Jerman tentang wanita yang perlu berpusat pada “Kirche, Kuche, Kinder” – Gereja, dapur, dan anak-anak. Bahkan sebuah concodart, perjanjian dari bagian hukum gereja katolik dan pemerintah berkuasa yang memberi gereja hak istimewa, ditandatangani pemerintah Nazi dan Gereja Katolik pada 1933. Kerja sama antara gereja Protestan dan Nazi sangat dekat dengan disokong oleh tradisi anti-Semit dalam Protestanisme Jerman.
Dalam kasus komunisme Soviet, negara tersebut mengakui secara resmi ateis. Namun, keputusan yang diambil oleh pemerintah Komunis Soviet tidak ada hubungannya dengan ateisme. Komunisme Soviet berakar dari pemikiran Karl Marx. Marx dikenal atas kata-katanya bahwa agama adalah “candu bagi rakyat”. Tapi adalah salah jika mengambil frasa tersebut secara terpisah dan beranggapan bahwa Marx mengatakan bahwa agama perlu dihapuskan dengan paksaan sesegera mungkin. Marx sungguh percaya penghapusan agama, tapi cara melakukannya adalah menciptakan sebuah masyarakat tempat di dalamnya orang-orang tidak lagi membutuhkan penghiburan agama. Tidak perlu melarang agama karena dalam negara komunis agama menjadi sama sekali tidak dibutuhkan.
Di Indonesia, komunisme sendiri bahkan berawal dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang merubah gerakannya menjadi SDI Merah yang kemudian menjadi PKI. Tidak sedikit kita menjumpai tokoh-tokoh komunis yang beragama. Dapat kita ambil contoh Tan Malaka, tokoh Marxis Indonesia yang juga bapak pendiri Republik ini. Kita dapat melihat pandangan Tan Malaka tentang agama dalam kata-kata yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia,
“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menganggap ateisme menyebabkan fasisme dan komunisme, sama dengan menganggap bahwa fasisme dan komunisme disebabkan oleh kumis, dan semua orang berkumis pastilah fasis dan/atau komunis.
Mengapa orang ateis sering menyerang agama?
Sebelum menyimpulkan bahwa ateis sering menyerang agama, ada baiknya mengetahui apakah “serangan” yang dimaksud adalah bentuk penyerangan personal, baik fisik ataupun dalam bentuk argumentum ad hominem , atau sebuah bentuk dialektika. Kita harus mengerti bahwa tidak ada satupun yang kebal kritik, termasuk ide tentang agama dan prinsip ketuhanan.
Ateisme sendiri bukanlah merupakan doktrin, sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang ateis tidaklah seragam. Banyak orang ateis yang mendukung keberadaan agama, namun sangat menentang kekerasan bentuk apapun yang mengatasnamakan agama. Kritik atau penyerangan terhadap agama tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memercayai Tuhan. Seringkali sesama umat beragama yang berlainan interpretasi kitab suci dan berlainan agama saling menyerang satu sama lain. Agama yang satu mengatakan bahwa pemeluk agama lainnya salah, akan masuk neraka dan disiksa selama-lamanya. Agama yang lain juga sering kali beranggapan demikian. Bahkan ada yang melakukan penyerangan secara fisik hanya karena berbeda pandangan. Pertanyaannya di sini adalah, siapakan yang sering melakukan penyerangan terhadap agama?
Apakah ada orang yang tidak memercayai Tuhan di Indonesia?
Ateis adalah minoritas di Indonesia, namun mereka ada dan menjadi warga negara Indonesia. Walaupun minoritas, jumlah mereka tidak sedikit. Dalam komunitas Indonesian Atheists di Facebook yang didirikan Oleh Karl Karnadi saja, jumlah anggota yang terdaftar sebanyak 1326 orang. Grup Facebook ini didirikan oleh Karl Karnadi pada tahun 2008. Tujuan dari pembentukan grup ini adalah sebagai sarana untuk berbagi dan sebagai support group untuk kaum ateis dan mereka yang tidak beragama. Pernah beberapa kali member grup ini diusir dari rumah karena ketidakpercayaan mereka dan lalu dibantu oleh member lainnya untuk mendapat tempat tinggal. Sebagai minoritas di Indonesia, tidak jarang diskriminasi terjadi pada mereka, sehingga mereka saling membantu satu sama lain.
Anggota dalam grup ini tidak hanya mereka yang tidak percaya pada Tuhan, tetapi juga kaum beragama yang mendukung hak mereka untuk tidak memercayai Tuhan dan hak mereka yang tidak beragama. Member grup ini juga cukup sering berkumpul untuk diskusi, piknik, berlibur, atau bahkan sekedar main kartu. Mereka juga terkadang melakukan bantuan sosial untuk korban bencana dan melakukan kegiatan sosial lainnya.
Selain itu, kelompok ateis di Indonesia juga membuat page Facebook “Anda Bertanya Ateis Menjawab”, atau disingkat dengan ABAM, untuk berinteraksi dengan masyarakat yang yang memiliki pertanyaan mengenai ateisme. Page ini dibuat oleh Virgie Albiant juga untuk memperlihatkan pada masyarakat Indonesia bahwa ateis sama saja dengan manusia lain, bahwa kaum ateis bukanlah monster tanpa moral seperti yang ditakutkan oleh masyarakat. Menurut beberapa testimoni dari pengguna Facebook yang berkunjung ke page ABAM, para ateis yang menjawab pertanyaan di page ini sangat sopan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung dengan sabar. Walaupun kadang pengunjung berkata kasar dan mencaci maki para ateis. Tidak jarang mereka yang anti terhadap ateis menjadi menghargai mereka.
Sila Pertama Pancasila adalah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Apakah artinya orang-orang ateis tidak dapat hidup di Indonesia?
Pancasila adalah penggabungan ideologi yang ada di Indonesia. Ideologi ketuhanan terangkum dalam sila pertama, ideologi kemanusiaan dan humanisme terangkum dalam sila kedua, ideologi nasionalisme terangkum dalam sila ketiga, ideologi demokrasi terangkum dalam sila keempat, dan ideologi keadilan dan sosialisme terangkum dalam sila kelima. Jika anda beranggapan bahwa sila pertama artinya mewajibkan setiap warga negara Indonesia wajib beragama dan bertuhan, maka sila kedua mewajibkan setiap WNI menjadi humanis, sila ketiga mewajibkan setiap WNI menjadi nasionalis, sila keempat mewajibkan setiap WNI menjadi demokratis, dan sila terakhir mewajibkan setiap WNI menjadi sosialis.
Tentu Negara Indonesia yang mempunyai slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bukanlah negara yang menyeragamkan pemikiran. Negara ini lahir dari perbedaan-perbedaan, bukan negara yang menginginkan perbedaan itu disamaratakan. Semoga masyarakat Indonesia mulai menghargai perbedaan dan tidak lagi mendiskriminasi minoritas.
Banyak sekali mitos yang salah mengenai seorang ateis. Cukup banyak masyarakat di Indonesia menanggap bahwa orang yang tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah orang yang bebas tak terbatas, tidak mempunyai batasan-batasan moral, sehingga akan merugikan orang lain. Ada pula yang menganggap ateisme sama dengan komunisme atau seorang ateis pastilah komunis. Anggapan awam terhadap ateis ini ternyata banyak yang keliru. Hal ini disebabkan karena adanya stigma buruk mengenai ateisme sehingga penjelasan yang benar mengenai ateisme sulit didapat.
Tidak sedikit juga masyarakat yang bertanya-tanya mengenai ateisme. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai ateisme yang sering ditanyakan oleh masyarakat, yang saya coba jawab berdasarkan penjelasan dari narasumber dan observasi.
Apakah yang dimakud dengan ateisme?
Ateisme adalah ketidakpercayaan akan adanya Tuhan ataupun dewa-dewi. Terdapat berbagai alasan ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi, dari alasan saintifik, filosofis, maupun alasan humanisme. Setiap orang memiliki alasan ketidakpercayaan masing-masing. Yang menyamakan seorang ateis satu dengan lainnya hanyalah posisi yang sama, yaitu posisi ketidakpercayaan kepada Tuhan. Ateisme berasal dari kata ‘a-teisme’ yang merupakan negasi terhadap teisme. Banyak yang salah kaprah dengan menganggap bahwa ateisme berasal dari kata ‘ate-isme’ yang merupakan bentuk ‘isme’ atau ideologi. Kesalahan konsep ini yang sering membuat orang lain berpikir bahwa ateisme sama dengan isme-isme lain seperti agama.
Apakah orang ateis yang tidak percaya tuhan memiliki etika?
Moralitas dapat tercipta tanpa memercayai keberadaan Tuhan, moralitas sepenuhnya tidak tergantung pada Tuhan dan ajaran-ajaran agama. Itu berarti ateis tidak hanya lebih dari sekedar mampu menjalani kehidupan bermoral, mereka bahkan mungkin mampu menjalani hidup lebih bermoral ketimbang pemeluk agama yang mengaburkan hukum dan hukuman ilahi dengan benar dan salah.
Apa yang akan menghentikan Anda melakukan sesuatu yang buruk? Apakah jika tidak ada Tuhan anda akan melakukan sesuatu yang buruk? Apakah merupakan moralitas yang buruk jika seseorang hanya dapat bertindak menurut etika jika seseorang melakukannya karena takut atas hukuman atau janji imbalan?
Moralitas manusia tidak sebatas karena takut atas hukuman Tuhan dan pendambaan terhadap berkah Tuhan (dengan adanya dosa-pahala dan surga-neraka). Tidak hanya ateis, umat beragama sekalipun tidak melulu melakukan kebaikan hanya karena mendambakan surga atau takut pada murka Tuhan dan neraka. Sirkuit altruisme dan neuron cermin di otak manusia membantu manusia untuk mempunyai moralitas. Sirkuit altruisme membuat manusia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain, neuron cermin membuat manusia merasakan kesedihan yang diderita oleh orang lain sehingga melahirkan rasa empati. Dengan adanya sirkuit-sirkuit ini, manusia, baik yang beragama, percaya Tuhan ataupun tidak, dapat mempunyai moralitas. Lalu apakah seorang ateis pasti tidak pernah merugikan orang lain? Apakah seorang yang beragama pastilah mempunyai moralitas? Tentunya hal ini tergantung oleh orang yang bersangkutan.
Banyak yang menanyakan dari mana datangnya moralitas orang yang tidak beragama. Namun, sangat jarang menanyakan kepada diri sendiri, “Mengapa mereka memilih moralitas A atau B”, atau menanyakan “Apa alasan mereka bermoral?”. Apakah seorang bermoral atau memilih moral A karena takut hukuman Tuhan? Untuk orang yang tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan, moralitas adalah tindakan atau keputusan terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.
Apakah tujuan dan makna hidup bagi orang ateis?
Tujuan hidup orang-orang ateis sangat beragam dan tergantung pada visi hidup masing-masing. Tanpa ide tentang Tuhan dan kehidupan mendapatkan surga, tujuan hidup dapat lebih luas dan berwarna tanpa dikejar oleh batasan-batasan untuk mendapatkan tempat setelah kematian.
Memahami nihilistik dengan mengetahui bahwa kita akah kehilangan eksistensi setelah kematian, bukan berarti membuat kita sebagai manusia menjadi depresi dan ingin mengakhiri hidup. Ada atau tidak ada Tuhan, kita dapat memaknai hidup dengan hasrat-hasrat kita sendiri dan tidak hanya tujuan-tujuan apapun atau yang siapapun ciptakan bagi kita. Kita sendiri dapat memilih tujuan hidup kita dan menikmati hidup bersama individu lain dengan beraneka warna. Bahkan seorang yang beragama mempunyai cita-cita dan tujuan hidupnya sendiri.
Sophie, salah satu admin grup Indonesian Atheists di facebook, memberikan pandangan mengenai hidup dalam komentarnya di bawah ini.
“Hidup yang sangat sebentar membuat kita dapat menikmati pencapaian-pencapaian. Bayangkan, betapa membosankan hidup selama-lamanya yang membuat pencapaian kita nampak tidak berarti karena ada kesempatan yang tidak terbatas. Mengetahui bahwa hidup hanya sementara dan tidak akan selama-lamanya membuat hidup lebih menarik dan berarti”
Mungkin begitulah sebagian kaum ateis memaknai hidupnya
Bagaimana orang ateis menghadapi kematian?
Saya sendiri mengenal seorang ateis muda yang sedang menghadapi kematiannya. Bukannya pasrah, seorang ateis muda tersebut nampak semakin produktif dalam mewujudkan cita-cita hidupnya. Pemahamannya bahwa tidak ada hidup setelah kematian nampaknya dapat membuat ia semakin mengerti pentingnya hidup dan memberikan sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik.
Bagi mereka yang tidak percaya tuhan dan kehidupan setelah kematian, jika orang yang mereka cintai meninggal maka berakhirlah hidupnya, dan mereka yang hidup akan meneruskan hidup orang yang sudah tiada dengan meneruskan cita- citanya dan menyebarkan pemikirannya. Seorang ateis tidak dapat membohongi diri mereka sendiri dengan harapan hidup setelah mati yang akan mempertemukan mereka dengan orang yang dicintai setelah mati. Atau harapan akan keadilan yang tidak kita dapatkan saat hidup. Bagi mereka, kita yang masih hiduplah yang harusnya berjuang mendapatkan keadilan itu, bukan berharap adanya keadilan setelah kematian.
Apakah ateisme sama dengan fasisme NAZI dan Komunisme?
Tentu tidak sama. Dari definisi yang telah saya sebutkan di atas, ateisme hanyalah posisi ketidakpercayaan pada eksistensi Tuhan dan dewa-dewi. Menurut Fredrick Engels, Komunisme adalah doktrin mengenai keadaan bagi kemerdekaan proletariat.
Sering sekali kita melihat tudingan bahwa ateisme bertanggung jawab atas fasisme dan pemikiran komunisme. Namun, jika kita melihat sejarah, Gereja Katolik berpihak pada Franco yang fasis dalam Perang Saudara di Spanyol sampai tahun 1960an. Di Italia, Vatikan bahkan menandatangani perjanjian Lateran yang terkenal dengan reputasi buruk dengan pemerintahan Fasis pada 1929, memberikan saling pengakuan antara Italia fasis dan Negara Vatikan dan menjadikan Mussolini pemimpin yang di bawahnya Katolik Roma menjadi agama resmi Italia. Nazi Jerman pun bukanlah negara ateis. Hitler sendiri bahkan mempertahankan pandangan tradisional Jerman tentang wanita yang perlu berpusat pada “Kirche, Kuche, Kinder” – Gereja, dapur, dan anak-anak. Bahkan sebuah concodart, perjanjian dari bagian hukum gereja katolik dan pemerintah berkuasa yang memberi gereja hak istimewa, ditandatangani pemerintah Nazi dan Gereja Katolik pada 1933. Kerja sama antara gereja Protestan dan Nazi sangat dekat dengan disokong oleh tradisi anti-Semit dalam Protestanisme Jerman.
Dalam kasus komunisme Soviet, negara tersebut mengakui secara resmi ateis. Namun, keputusan yang diambil oleh pemerintah Komunis Soviet tidak ada hubungannya dengan ateisme. Komunisme Soviet berakar dari pemikiran Karl Marx. Marx dikenal atas kata-katanya bahwa agama adalah “candu bagi rakyat”. Tapi adalah salah jika mengambil frasa tersebut secara terpisah dan beranggapan bahwa Marx mengatakan bahwa agama perlu dihapuskan dengan paksaan sesegera mungkin. Marx sungguh percaya penghapusan agama, tapi cara melakukannya adalah menciptakan sebuah masyarakat tempat di dalamnya orang-orang tidak lagi membutuhkan penghiburan agama. Tidak perlu melarang agama karena dalam negara komunis agama menjadi sama sekali tidak dibutuhkan.
Di Indonesia, komunisme sendiri bahkan berawal dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang merubah gerakannya menjadi SDI Merah yang kemudian menjadi PKI. Tidak sedikit kita menjumpai tokoh-tokoh komunis yang beragama. Dapat kita ambil contoh Tan Malaka, tokoh Marxis Indonesia yang juga bapak pendiri Republik ini. Kita dapat melihat pandangan Tan Malaka tentang agama dalam kata-kata yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia,
“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menganggap ateisme menyebabkan fasisme dan komunisme, sama dengan menganggap bahwa fasisme dan komunisme disebabkan oleh kumis, dan semua orang berkumis pastilah fasis dan/atau komunis.
Mengapa orang ateis sering menyerang agama?
Sebelum menyimpulkan bahwa ateis sering menyerang agama, ada baiknya mengetahui apakah “serangan” yang dimaksud adalah bentuk penyerangan personal, baik fisik ataupun dalam bentuk argumentum ad hominem , atau sebuah bentuk dialektika. Kita harus mengerti bahwa tidak ada satupun yang kebal kritik, termasuk ide tentang agama dan prinsip ketuhanan.
Ateisme sendiri bukanlah merupakan doktrin, sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang ateis tidaklah seragam. Banyak orang ateis yang mendukung keberadaan agama, namun sangat menentang kekerasan bentuk apapun yang mengatasnamakan agama. Kritik atau penyerangan terhadap agama tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memercayai Tuhan. Seringkali sesama umat beragama yang berlainan interpretasi kitab suci dan berlainan agama saling menyerang satu sama lain. Agama yang satu mengatakan bahwa pemeluk agama lainnya salah, akan masuk neraka dan disiksa selama-lamanya. Agama yang lain juga sering kali beranggapan demikian. Bahkan ada yang melakukan penyerangan secara fisik hanya karena berbeda pandangan. Pertanyaannya di sini adalah, siapakan yang sering melakukan penyerangan terhadap agama?
Apakah ada orang yang tidak memercayai Tuhan di Indonesia?
Ateis adalah minoritas di Indonesia, namun mereka ada dan menjadi warga negara Indonesia. Walaupun minoritas, jumlah mereka tidak sedikit. Dalam komunitas Indonesian Atheists di Facebook yang didirikan Oleh Karl Karnadi saja, jumlah anggota yang terdaftar sebanyak 1326 orang. Grup Facebook ini didirikan oleh Karl Karnadi pada tahun 2008. Tujuan dari pembentukan grup ini adalah sebagai sarana untuk berbagi dan sebagai support group untuk kaum ateis dan mereka yang tidak beragama. Pernah beberapa kali member grup ini diusir dari rumah karena ketidakpercayaan mereka dan lalu dibantu oleh member lainnya untuk mendapat tempat tinggal. Sebagai minoritas di Indonesia, tidak jarang diskriminasi terjadi pada mereka, sehingga mereka saling membantu satu sama lain.
Anggota dalam grup ini tidak hanya mereka yang tidak percaya pada Tuhan, tetapi juga kaum beragama yang mendukung hak mereka untuk tidak memercayai Tuhan dan hak mereka yang tidak beragama. Member grup ini juga cukup sering berkumpul untuk diskusi, piknik, berlibur, atau bahkan sekedar main kartu. Mereka juga terkadang melakukan bantuan sosial untuk korban bencana dan melakukan kegiatan sosial lainnya.
Selain itu, kelompok ateis di Indonesia juga membuat page Facebook “Anda Bertanya Ateis Menjawab”, atau disingkat dengan ABAM, untuk berinteraksi dengan masyarakat yang yang memiliki pertanyaan mengenai ateisme. Page ini dibuat oleh Virgie Albiant juga untuk memperlihatkan pada masyarakat Indonesia bahwa ateis sama saja dengan manusia lain, bahwa kaum ateis bukanlah monster tanpa moral seperti yang ditakutkan oleh masyarakat. Menurut beberapa testimoni dari pengguna Facebook yang berkunjung ke page ABAM, para ateis yang menjawab pertanyaan di page ini sangat sopan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung dengan sabar. Walaupun kadang pengunjung berkata kasar dan mencaci maki para ateis. Tidak jarang mereka yang anti terhadap ateis menjadi menghargai mereka.
Sila Pertama Pancasila adalah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Apakah artinya orang-orang ateis tidak dapat hidup di Indonesia?
Pancasila adalah penggabungan ideologi yang ada di Indonesia. Ideologi ketuhanan terangkum dalam sila pertama, ideologi kemanusiaan dan humanisme terangkum dalam sila kedua, ideologi nasionalisme terangkum dalam sila ketiga, ideologi demokrasi terangkum dalam sila keempat, dan ideologi keadilan dan sosialisme terangkum dalam sila kelima. Jika anda beranggapan bahwa sila pertama artinya mewajibkan setiap warga negara Indonesia wajib beragama dan bertuhan, maka sila kedua mewajibkan setiap WNI menjadi humanis, sila ketiga mewajibkan setiap WNI menjadi nasionalis, sila keempat mewajibkan setiap WNI menjadi demokratis, dan sila terakhir mewajibkan setiap WNI menjadi sosialis.
Tentu Negara Indonesia yang mempunyai slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bukanlah negara yang menyeragamkan pemikiran. Negara ini lahir dari perbedaan-perbedaan, bukan negara yang menginginkan perbedaan itu disamaratakan. Semoga masyarakat Indonesia mulai menghargai perbedaan dan tidak lagi mendiskriminasi minoritas.
0 komentar:
Posting Komentar