Penghapusan item “agama” di Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu solusi untuk mengakhiri tindakan diskrimanasi yang dialami kaum minoritas di negeri ini.
Demikian diungkapkan anggota MPR, Ian P Siagian saat sosialisasi empat Pilar Kebangsaaan di aula Sekolah Dharma Loka Pekanbaru, Senin malam (22/4).
Dia menyatakan, usulan penghapusan agama dalam KTP pernah diusulkan tetapi tidak diterima anggota DPR lainnya.
“Menghilangkan kolom agama di KTP adalah ide saya melalui Rancangan Undang-Undang, tapi tak masuk di Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Artinya kalau tak masuk di Prolegnas tidak akan dibahas dalam sidang,” kata anggota DPR dari PDIP ini kepada SH usai sosialisasi.
Salah satu alasan penolakannya adalah, jika terjadi kecelakaan dan korbannya meninggal, orang tidak akan tahu proses pemakamannya memakai agama apa. “Alasan ini tak masuk akal. Database sang korban sudah ada di pihak polisi. Yang tak ada hanya di dalam KTP saja,” katanya.
Padahal, menurutnya RUU yang diusulkan itu merupakan salah satu solusi menghapuskan diskriminasi di Indonesia. Penghapusan agama dari KTP juga menguntungkan bagi pencari kerja.
Jika seseorang membuat lamaran, status keagamaannya tidak perlu direpotkan oleh pemilik perusahaan. “Makanya penghapusan item agama dari KTP itu bagi saya merupakan salah satu solusi untuk menghentikan semua bentuk diskrimasi di negeri ini,” katanya.
Terkait penghapusan kolom agama ini, hingga kini masih terus disuarakan berbagai pihak. Salah satunya disuarakan komunitas adat dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan warga Baduy, penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
Dalam aksinya di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir tahun lalu, warga Baduy menginginkan kepercayaan yang dianutnya bisa masuk dalam kolom agama di KTP. Namun, keinginan itu ditolak Kemendagri.
Asal-usul pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 jo Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Disebutkan agama resmi di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, agama Konghucu diakui tapi hanya boleh dipraktikan internal dalam hubungan keluarga atau perorangan. Atas dasar ketentuan inilah, agama Konghucu tidak diperkenankan dimasukkan dalam kolom agama KTP.
Belakangan mulai menguat desakan perubahan terhadap dasar hukum yang menjadi landasan eksistensi agama resmi di Indonesia tersebut, karena dinilai diskriminatif terhadap agama lain seperti Konghucu.
Barulah pada masa pemerintahan Abrurrahman Wahid (Gus Dur) aturan hukum di atas dicabut dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Belakangan pemerintah memang melakukan revisi UU Kependudukan. Pemerintah dan DPR akhirnya melahirkan UU Nomor 23 Tahun 2006. Aturan soal penghayat kepercayaan diatur dalam Pasal 61 Ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2006.
Dalam pasal itu disebutkan, keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dia menyatakan, usulan penghapusan agama dalam KTP pernah diusulkan tetapi tidak diterima anggota DPR lainnya.
“Menghilangkan kolom agama di KTP adalah ide saya melalui Rancangan Undang-Undang, tapi tak masuk di Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Artinya kalau tak masuk di Prolegnas tidak akan dibahas dalam sidang,” kata anggota DPR dari PDIP ini kepada SH usai sosialisasi.
Salah satu alasan penolakannya adalah, jika terjadi kecelakaan dan korbannya meninggal, orang tidak akan tahu proses pemakamannya memakai agama apa. “Alasan ini tak masuk akal. Database sang korban sudah ada di pihak polisi. Yang tak ada hanya di dalam KTP saja,” katanya.
Padahal, menurutnya RUU yang diusulkan itu merupakan salah satu solusi menghapuskan diskriminasi di Indonesia. Penghapusan agama dari KTP juga menguntungkan bagi pencari kerja.
Jika seseorang membuat lamaran, status keagamaannya tidak perlu direpotkan oleh pemilik perusahaan. “Makanya penghapusan item agama dari KTP itu bagi saya merupakan salah satu solusi untuk menghentikan semua bentuk diskrimasi di negeri ini,” katanya.
Terkait penghapusan kolom agama ini, hingga kini masih terus disuarakan berbagai pihak. Salah satunya disuarakan komunitas adat dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan warga Baduy, penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
Dalam aksinya di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir tahun lalu, warga Baduy menginginkan kepercayaan yang dianutnya bisa masuk dalam kolom agama di KTP. Namun, keinginan itu ditolak Kemendagri.
Asal-usul pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 jo Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Disebutkan agama resmi di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, agama Konghucu diakui tapi hanya boleh dipraktikan internal dalam hubungan keluarga atau perorangan. Atas dasar ketentuan inilah, agama Konghucu tidak diperkenankan dimasukkan dalam kolom agama KTP.
Belakangan mulai menguat desakan perubahan terhadap dasar hukum yang menjadi landasan eksistensi agama resmi di Indonesia tersebut, karena dinilai diskriminatif terhadap agama lain seperti Konghucu.
Barulah pada masa pemerintahan Abrurrahman Wahid (Gus Dur) aturan hukum di atas dicabut dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Belakangan pemerintah memang melakukan revisi UU Kependudukan. Pemerintah dan DPR akhirnya melahirkan UU Nomor 23 Tahun 2006. Aturan soal penghayat kepercayaan diatur dalam Pasal 61 Ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2006.
Dalam pasal itu disebutkan, keterangan mengenai kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Sumber: SinarHarapan
0 komentar:
Posting Komentar